26 April 2020

Komunikasi Risiko sangat penting dalam manajemen risiko, baca penjelasannya

Standar manajemen risiko ISO 31000 menyebutkan proses-proses penting yang wajib dilakukan dalam pengelolaan risiko yang baik.

Proses-proses itu antara lain: penetapan konteks organisasi,  penilaian risiko (mencakup identifikasi risiko, analisis risiko, perlakukan risiko, pencatatan dan pelaporan, pemantauan dan tinjauan serta komunikasi dan konsultasi risiko.

Seorang guru besar UNIKA Soegijapranata, Mengajar Analisis Risiko, Bapak Budi Widianarko menulis opini di harian Kompas dengan judul "Komunikasi risiko, memastikan ketidakpastian". Beliau menekankan pentingnya komunikasi risiko. Komunikasi risiko merupakan bagian tanggung jawab pengelolaan risiko.

Dalam kaitanaya dengan wabah covid-19, beliau berpendapat, komunikasi risiko yang dijalankan baik ditingkat nasional maupun daerah masih belum optimal untuk tidak mengatakan rancu. Saya kutip tulisannya,
Sebut saja, misalnya, siapa komunikator risiko di tingkat nasional? dr. Achmad Yurianto, juru bicara (jubir) pemerintah untuk penanganan Covid-19? Atau Letnan Jenderal Doni Monardo, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19? Atau Presiden Joko Widodo sendiri?

Lihat tulisan lengkap berikut ini.
-------------------------------------

Komunikasi Risiko, Memastikan Ketidakpastian

Yang sangat ditunggu warga adalah informasi tentang sudah sampai di manakah perkembangan wabah ini. Ketika kurva masih mendaki dan melonjak tajam, kepada warga harus disampaikan bahwa belum ada kepastian kapan mendatar.

Kompas (22/4/2020) melaporkan terus bermunculannya hoaks soal Covid-19. Mengangkat pendapat Anita Wahid, Presidium Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), munculnya hoaks itu diakibatkan minimnya informasi yang dikeluarkan oleh pihak otoritas. Dan, ketika seorang pejabat mengeluarkan informasi, tidak jarang malah tabrakan dengan informasi pejabat lainnya. Kekacauan informasi ini disebut Anita Wahid sebagai pemicu lahirnya pemikiran-pemikiran liar di publik.

Dalam ranah analisis risiko (risk analysis), yang terjadi adalah kekacauan komunikasi risiko (risk communication). Kekacauan ini umum terjadi saat krisis, apalagi untuk krisis kesehatan seperti saat epidemi atau pandemi.

Seeger dan Sellnow (2016) menyebut bahwa krisis berupa wabah penyakit memang rentan terhadap pertentangan narasi. Selain itu, pertentangan narasi dalam suatu krisis kesehatan menjadi sulit dikelola karena tingkat ketidakpastiannya yang sangat tinggi.

Dalam keadaan krisis seserius pandemi Covid-19, isi komunikasi yang diperlukan adalah transparansi tentang ketidakpastian yang sedang berlangsung sehingga publik tahu dengan pasti bahwa masih ada ketidakpastian tentang krisis itu. Kepada publik harus disampaikan pesan bahwa titik kepastian—misalnya waktu puncak wabah—hanya bisa dicapai melalui kerja keras pihak otoritas dan kepatuhan serta dukungan seluruh warga. Inilah ”gaya” komunikasi risiko yang dibutuhkan saat terjadi krisis gawat yang sarat ketidakpastian.

Fokus pada pengendalian risiko

Mengacu urgensi analisis risiko (risk analysis), pandemi Covid-19 berada dalam kuadran keempat—alias kuadran paling serius—yang dicirikan oleh tingkat ketidakpastian dan kegawatan yang tinggi. Ketika sebuah krisis tergolong dalam kuadran keempat, yang diperlukan adalah proses analisis risiko yang ekstensif, bukan yang sedang-sedang saja, apalagi yang rutin (business as usual).

”Biang kerok” pandemi Covid-19 sudah tidak perlu diperbincangkan lagi. Semua sepakat bahwa virus SARS-CoV-2 adalah sumber bahayanya (hazard). Tahap pertama analisis risiko, yaitu identifikasi risiko (risk identification), sudah terlewati. Bahaya hanya akan mewujud menjadi risiko jika terpapar ke manusia.

Apa saja bentuk risikonya, mulai dari munculnya berbagai gejala sakit hingga kematian, dan bahkan berapa angka perkiraan persentase kematian manusia akibat infeksi virus SARS-CoV-2 sudah tersedia. Dengan kata lain, tahapan pencirian risiko (risk characterization) dan pendugaan risiko (risk estimation) juga sudah bisa kita tinggalkan.

Dalam daur analisis risiko, situasi dan kondisi wabah Covid-19 di Indonesia sekarang ini sudah masuk tahap penilaian risiko (risk evaluation) dan pengendalian risiko (risk control). Dalam hal ini, risiko dimaknai sebagai peluang terjadinya hal yang buruk—seperti sakit atau mati.

Sebaiknya kita gunakan sumber daya yang terbatas dan sistem pendukung yang jauh dari ideal untuk difokuskan pada penetapan tingkat risiko yang siap ditanggung-penilaian risiko; dan penentuan opsi-opsi pengelolaan risiko dan pelaksanaannya-pengendalian risiko.

Dalam hal ini risiko dimaknai sebagai peluang terjadinya hal yang buruk, seperti sakit atau mati. Komunikasi risiko melengkapi evaluasi risiko dan pengelolaan risiko. Dibandingan dengan kedua unsur yang lain, komunikasi menempati posisi yang unik. Komunikasi serba hadir dalam keseluruhan daur analisis risiko.

Komunikasi risiko

Oleh Yoe (Principles of Risk Analysis-Decision Making under Uncertainty, 2019) ditegaskan bahwa komunikasi risiko merupakan bagian tanggung jawab pengelolaan risiko. Pengelola risiko (risk manager) tidak harus turun gelanggang sendiri untuk mengomunikasikan risiko kepada publik, tetapi dia harus memastikan bahwa proses itu berlangsung dengan baik.

Pengalaman dari wabah ebola, SARS, dan H5N1 (flu burung) menunjukkan bahwa komunikasi publik saat krisis akan lebih efisien jika warga menaruh kepercayaan kepada pihak otoritas dan para ahli (Gaby-Fleur Böl dalam Science & Society, 2016 Vol 7 No 1). Kepercayaan publik hanya bisa terbangun jika informasi tentang risiko yang disampaikan lengkap-utuh (komprehensif), transparan, dan mudah dimengerti serta didukung bukti atau teori ilmiah.

Blunder komunikasi risiko berupa optimistic bias oleh Menteri Kesehatan pada episode awal wabah Covid-19 tentu masih meninggalkan jejak dalam memori publik. Pasti dibutuhkan waktu dan energi untuk memulihkan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pihak otoritas menyangkut perkembangan dan pengendalian wabah ini.

Menurut hemat penulis, komunikasi risiko yang dijalankan baik di tingkat nasional maupun daerah masih belum optimal untuk tidak mengatakan rancu. Sebut saja, misalnya, siapa komunikator risiko di tingkat nasional? dr. Achmad Yurianto, juru bicara (jubir) pemerintah untuk penanganan Covid-19? Atau Letnan Jenderal Doni Monardo, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19? Atau Presiden Joko Widodo sendiri?

Kerancuan yang sama juga berlangsung di daerah. Sejumlah gubernur turun sendiri sebagai jubir yang mengomunikasikan risiko. Padahal, semestinya gubernur adalah pimpinan analisis risiko—yang memadukan kerja penilaian, pengelolaan, dan komunikasi risiko. Tanpa jubir khusus pesan komunikasi risiko sulit untuk memenuhi kaidah di atas: lengkap-utuh (komprehensif), transparan, dan mudah dimengerti serta didukung bukti atau teori ilmiah.

Begitu pula isi dan gaya laporan perkembangan yang disampaikan setiap harinya oleh jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19 terkesan hanya sarat dengan informasi numerik berupa data ODP, PDP, pasien positif, pasien sembuh, dan meninggal. Meskipun informasi numerik ini berguna untuk menggambarkan perkembangan wabah, juga berisiko menghasilkan kejenuhan yang bisa-bisa berujung pada ketidakpedulian warga. Informasi numerik yang disampaikan perlu diolah menjadi sebuah narasi yang lebih bermakna.

Yang sangat ditunggu oleh warga adalah informasi tentang sudah sampai di manakah perkembangan wabah ini. Apakah kurvanya masih mendaki? Atau mulai mendatar? Ketika kurva masih mendaki dan bahkan masih melonjak tajam, kepada warga harus disampaikan bahwa belum ada kepastian kapan kurva akan mendatar.

Pada titik ini, kemudian sang jubir dapat menyampaikan dengan penuh kepastian dan otoritatif bahwa semua tindakan pemerintah bertujuan untuk melandaikan kurva wabah dan itu hanya bisa dicapai jika warga patuh dan mendukung. Dengan demikian, informasi yang disampaikan oleh jubir adalah informasi yang menggerakkan hati dan pikiran—bukan informasi searah yang dingin.

Dalam era pasca-kebenaran (post truth) ini mengharapkan adanya orkestrasi informasi—atau lebih tepatnya narasi—adalah harapan utopis belaka. Yang kita temui adalah kontes ”suara” antara mereka yang menyuarakan narasi yang benar (truth), separuh benar (half-truth), palsu (fake news), dan bahkan bohong serta fitnah (hoax).

Oleh karena itu, pihak otoritas dan semua pihak yang berkehendak baik harus mampu menguasai ruang dengar dan ruang gambar publik demi memberikan pemahaman yang benar tentang masalah yang sangat kompleks—seperti pandemi Covid-19 ini. Mungkin ini saatnya untuk melibatkan jubir-jubir terbaik negeri ini, seperti Febri Diansyah, Yenny Wahid, atau Pandji Pragiwaksono—untuk untuk menyebut beberapa nama—dalam kontes narasi Covid-19.

(Budi Widianarko, Guru Besar UNIKA Soegijapranata, Mengajar Analisis Risiko)
Sumber, Kompas, 25 April 2020 

No comments:

Post a Comment